Bila kita datang ke
Kota Pontianak tidaklah lengkap rasanya apabila tidak berkunjung ke salah satu
bangunan megah yang terletak tidak jauh dari pusat perekonomian di Kota
Pontianak. Bangunan dengan gaya arsitektur benua eropa pada abad pertengahan
tentu akan menarik perhatian bagi siapa saja yang melihatnya. Gereja Katedral
Santo Yoseph Pontianak begitu masyarakat Pontianak menamainya. Tidak hanya
populer dikalangan umat Katolik saja, bangunan ini sangat tidak asing
dikalangan umat beragama lain yang ada di Kota Pontianak. Nilai sejarahnya yang
mengikutinya seakan-akan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
ingatan setiap orang yang pernah mengunjungi dan bahkan tinggal di Kota
Pontianak.
Masa
Awal Karya Misionaris Kalimantan
Awal sejarah misi
Katolik di Kalimantan Barat terekam dalam laporan laporan para misionaris Ordo
Jesuit, ketika mereka melakukan perjalanan hingga ke daerah pedalam Kalimantan
Barat. Laporan tersebut tersurat dalam laporan perjalanan Pastor Sanders ditahun
1851-1852 (Vriens S.J: 1972;223). Dalam laporannya Pastor Sander mengatakan
bahwa belum saatnya membuka karya misi di Kalimantan Barat pada penjajakan
awalnya di bumi khatulistiwa.
Laporan selanjutnya kemudia
diperoleh dari Pater van der Grinten pada tahun 1862. Ketika itu ia melakukan
perjalanan berkeliling mengunjungi orang-orang dayak yang bermukim di daerah
pedalaman. Dalam perjalan tersebut beliau menyelidiki kemungkinan-kemungkinan
upaya misi masuk ke Kalimantan Barat. Dalam laporannya tersebut beliau sangat
optimis bahwa Kalimantan Barat dapat dijadikan daerah misi baru. Namun sangat
disayangkan tidak ada tindak lanjut dari laporannya tersebut. Hal ini terjadi
karena jumlah tenaga imam yang ada masih sangat sedikit serta situasi Kalimantan
Barat kala itu kurang kondusif. Dari segi politik banyaknya pertentangan
pertentangan antara pemerintah Belanda dengan kongsi-kongsi (kongsi: komunitas
masyarakat tionghoa yang datang dari tiongkok) yang menetap di Kalimantan Barat.
Selain itu, ketidakselarasan antara penguasa lokal (kesultanan) dengan kongsi-kongsi
masyarakat tionghoa seringkali berujung pada peperangan hingga menimbulkan
korban jiwa. Hal inilah yang menyebabkan terhambatnya perkembangan misi di Kalimantan Barat.
Walaupun perkembangan
yg terjadi begitu lambat, tapi dengan pelan namun pasti dari tahun ke tahun
jumlah umat yang terpanggil semakin banyak. Akhirnya pada tahun 1885, Singkawang
ditetapkan sebagai stasi dengan cakupan wilayah Kalimantan Barat dan pulau
Belitung dan Pater W.J. Staal, SJ ditunjuk sebagai pastor paroki pertamanya.
Saat itu Pater Staal melayani kurang lebih 200 umat Katolik Tionghoa yang
berasal dari pulau Bangka. Ditahun-tahun berikutnya jumlah umat semakin
meningkat karena pelayanan misionaris jesuit ini kemudian merangkul juga orang
orang dayak yang ada di pedalaman, bahkan sampai di daerah sejiram (sekarang
Kab.Kapuas Hulu). Lagi-lagi persoalan keterbatasan imam menjadi permasalahan dalam
pengembalaan umat yang sudah mulai menunjukan peningkatan.
Berbeda dengan misi di
kalimantan barat, misi di pulau Jawa dan Flores berkembang dengan sangat baik
kala itu. Pertumbuhan yang sangat baik ini tentunya membutuhkan semakin banyak
tenaga imam. Maka dengan kondisi jumlah imam yang terbatas ini, imam-imam yang ada di kalimantan barat ditarik
dan di kirim ke Flores. Ini terjadi pada tahun 1897. Maka dengan berat hati,
semua imam yang menjalankan misi di Kalimantan Barat pun pindah. Umat yang
telah ada sangat kehilangan sahabat, guru, dan imam mereka.
Mengalami kekosongan
dalam misi pewartaan di Kalimantan Barat Vikaris Apostolik Jakarta berupaya
mencari solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Para pimpinan ordo jesuit
berusaha mencari ordo-ordo lain yang bersedia menggantikan misi mereka telah rintis
susah payah di Kalimantan Barat. Akhirnya pada tahun 1905 tepatnya pada tanggal
18 Februari Prefektur Apostolik Borneo didirikan, yang kemudian dipercayakan
kepada ordo kapusin. Para biarawan dari ordo kapusin Belanda mendapat tugas
untuk segera mengisi kekosongan karya misi di Kalimantan Barat. Dua bulan setelahnya, tepatnya pada tanggal
10 April 1905 ditunjuk Pastor Pacificus Bos, OFMCap sebagai Prefek Apostolik Borneo
oleh Bapa Suci Paus Pius X.
Pada tanggal 30
November 1905 Pastor Pacificus Bos, OFMCap bersama dengan misionaris lainnya yg
berjumlah 4 orang tiba di Singkawang. Mereka disambut dengan penuh kegembiraan dan
suka cita hingga larut malam saat kedatangan. Benih-benih iman yang telah ditanamkan
oleh misionaris Jesuit masih hidup dikalangan umat. Hal inilah yang membuat karya
pelayanan misionaris ini diterima dengan sangat antusias dan penuh suka cita
oleh umat. Banyak kisah-kisah menarik yang mewarnai kisah-kisah perjalanan awal
karya mereka sebagai misionaris di Singkawang.
Karya
Misionaris Di Pontianak
Dalam perkembangannya
Prefek Apostolik Borneo Pastor Pacificus Bos menilai bahwa Pontianak akan
menjadi daerah baru untuk karya misi. Pada akhir tahun 1906, Pastor Beatus di
tugaskan ke Pontianak untuk melihat kemungkinan-kemungkinan dibukanya karya misi di tengah-tengah masyarakat
Tionghoa. Dari laporannya selama sebulan berada di Pontianak, terlihat umat
Katolik sudah ada tetapi jumlahnya sangat sedikit hanya berkisar 20 orang saja.
Akan tetapi umat Katolik yang ada tidak menunjukkan minat yang cukup serius
untuk mempelajari agama Katolik. Alasannya adalah karena mereka lebih
berkonsentrasi pada bisnis yg bersifat rutin sehingga mengabaikan pembinaan
rohani.
Kemudian pada visitasi
yang kedua bulan Februari 1908 Pastor Pasifikus Bos melihat adanya perkembangan
yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi umat yang terlihat sebelumnya, sekembalinya ia dari Sejiram. Hal ini
dikarenakan sebelum keberangkatannya ke daerah Sejiram, ia menunjuk seorang
katekis untuk melayani umat yang ada di Pontianak. Pastor Pacificus akhirnya
memutuskan bahwa Pontianak harus menjadi bagian karya misi mereka. Mengingat letaknya
yang sangat strategis serta dapat dijadikan tempat transit bagi para misionaris
yang hendak melakukan perjalanan ke pedalaman maupun sebaliknya. Keinginannya
tersebut terwujud pada bulan Juli 1908. Untuk melakukan karya pastoral di
lingkungan stasi Pontianak, Prefek akhirnya menugaskan Pastor Remigius. Pada
saat itu bentuk gereja sebagai sebuah bangunan belum ada. Sebagai tempat
tinggal, Prefek menyewa sebuah ruko di daerah pasar yang sekaligus digunakan
sebagai tempat untuk pembinaan iman umat. Sebagai alternatif untuk melaksanakan
misa umat di stasi Pontianak digunakanlah bangunan milik pemerintah Belanda,
yaitu gedung peradilan.
Periode awal karya pastoral
di Pontianak perkembangan iman umat cukup menggembirakan hati Pastor Pacificus.
Hal ini dikarenakan pastor serta katekis yg ditunjuk, menjalankan tugasnya
dengan sungguh-sungguh. Melihat kondisi yang sudah lebih baik serta pertambahan
jumlah umat yang meningkat akhirnya Pastor Pacificus Bos memikirkan untuk
rencana pembangunan sebuah Gereja. Keinginannya tersebut disambut baik oleh
pimpinan provinsial yang berada di Belanda. Maka dibelilah beberapa bidang
tanah serta mulai dibangunlah sebuah gereja untuk memperkuat misi pastoralnya
di Pontianak.
Lokasi pembangunan
gereja berada tidak jauh pusat pemerintahan Hindia Belanda dan dan tangsi militer
serta pusat perdagangan. Pada akhir bulan desember 1910 bangunan Gereja pun
telah selesai didirikan, prefek Pastor Pacificus Bos, Pastor Remigius bersama
para Bruder meninggalkan rumah kontrakan dan pindah disamping pastoran.
Gereja
Katedral Pontianak
Pada tahun 1910 Gereja
Katedral masih berstatus gereja paroki, predikat sebagai gereja misi menjadi
label utama yang menyertai perjalanan sejarahnya hingga dekade-dekade
berikutnya. Pada awal-awal pembentukan paroki, umat Pontianak didominasi oleh
warga Tionghoa yang datang menetap dan bekerja.
Menjelang berakhirnya
perang dunia pertama tepatnya pada tanggal 14 Maret 1918, Prefektur Apostolik
Borneo yang dijabat oleh Pastor Pacificus Bos, kemudian oleh Tahta Suci Roma
diangkat menjadi Vikariat Apostolik. Akhirnya pada 17 November 1918 Pastor Pacificus
Bos diangkat menjadi Uskup Pontianak. Dengan pengangkatan tersebut secara
otomatis Gereja yang tadinya hanya gereja biasa berubah menjadi Gereja
Katedral.
Menelusuri penamaan
Gereja Katedral yang kemudian dikenal dengan nama Gereja Katedral santo Yoseph
Pontianak, tidak dijumpai catatan yg menyebutkan kapan peristiwa itu terjadi
dan alasan mengapa gereja tersebut dinamakan Gereja Katedral Santo Yoseph
Pontianak. Tetapi apabila dilihat dari sejarah awal pendirian stasi Pontianak
perkiraan pemberian nama Santo Yoseph dapat ditelusuri. Dalam usahanya memindahkan pusat misi ke
Pontianak prefek Pacificus Bos, memohon dan menyerahkan segala perencanaan
tersebut lewat bantuan campur tangan Santo Yoseph sebagai pelindungnya. Hal
inilah yang kemudian diperkirakan sebagai asal nama dari Gereja Katedral Santo
Yoseph Pontianak.
Perjalanan misi Gereja
tidak berjalan dengan mudah di Pontianak. Hal ini dikarenakan ikut berdampaknya
situasi kehidupan Gereja akibat terjadinya perang dunia 1 dan perang dunia 2. Kondisi
terparah yang dialami gereja pada saat itu adalah pada saat pendudukan tentara
Jepang di Indonesia termasuk di Kalimantan Barat pada tahun 1941. Banyak arsip2
penting Gereja yang gagal diselamatkan karena kedatangan tentara Jepang yang
tidak diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya. Hal ini berdampak pada kehidupan
menggereja, baik itu dilingkungan para pemimpin umat serta para umat Katolik
pada masa itu. Para imam, bruder dan suster yang berkebangsaan Belanda ditahan
dan diasingkan di kamp tahanan, yang membuat aktivitas Gereja sempat terhenti
untuk beberapa saat. Hanya pastor-pastor yang berkebangsaan Indonesia saja yang
tidak ditahan. Walaupun ada beberapa pastor yang tidak ditahan tetap saja
aktivitas gereja tetap tidak dapat dilaksanakan karena gereja, sekolah dan
gedung-gedung milik gereja dijadikan tempat aktivitas tentara Jepang. Kondisi
ini berjalan kurang lebih selama 4 tahun.
Setelah Jepang menyerah,
baru kemudian aktivitas gereja menjadi pulih kembali dan gedung-gedung yang
sebelumnya digunakan tentara Jepang dikembalikan kepada gereja. Para misionaris
yang ditahan di kamp penjara dibebaskan dan baru kembali ke Pontianak pada awal
bulan Desember 1945. Pada waktu itu Mgr. Tarcisius van Valenberg kembali ke
Gereja Katedral dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Dimana berkas-berkas
gereja sudah banyak yang hilang serta rusak akibat pendudukan Jepang selama
kurang lebih 4 tahun lamanya. Babak baru misi gereja dimulai kembali ketika
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Kondisi yang semula sudah tertata
dengan baik harus dimulai lagi dari awal. Walaupun demikian semangat hidup
menggereja tidak pernah surut. Dengan perlahan dan pasti kondisi tersebut dapat
teratasi.
Pada tahun 1950-an
gereja Katedral Pontianak kembali mencatat pergantian jabatan Vikaris Apostolik
pada 13 Juli 1957 Pastor Herculanus diangkat menjadi Vikaris Apostolik.
Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1957 Pastor Herculanus ditahbiskan menjadi
Uskup yang baru. Pada tahun 1959, gereja yang dibangun sejak 1909 terasa tidak
dapat menampung umat yang semakin bertambah. Untuk menampung umat yang semakin
bertambah tersebut maka Gereja Katedral dirancang untuk perluasan yang pelaksanaannya
dimulai dari tahun 1959 hingga Desember 1963. Data mencatat berdasarkan buku
babtisan sepanjang 1945 hingga 1960 umat Katolik di Pontianak pada saat itu telah
berjumlah 2297 orang.
Masa
Baru
Memasuki tahun 1960,
gereja Katedral Pontianak kembali menjadi saksi beberapa peristiwa penting. Salah
satunya adalah pengakuan dan kepercayaan yang diberikan oleh Tahta Suci kepada
karya rohaniwan dan awam yg sudah dewasa di Indonesia dengan membentuk hirarki
gereja di Indonesia. Kemudian pada tahun 1967 tepatnya pada bulan Juli,
Katedral Pontianak menjadi saksi bagi pentahbisan putra dayak kedua Fr.
Hieronimus Bumbun sebagai pastor. Kemudian sembilan tahun selanjutnya Gereja
Katedral menjadi saksi atas Pastor Hieronymus Bumbun, OFMCap yang ditahbiskan
sebagai Uskup Agung Keuskupan Agung Pontianak.
Di era tahun 1980, umat
Gereja Katedral Santo Yoseph Pontianak semakin bertumbuh, baik secara kuantitas
maupun kualitas. Dari waktu ke waktu umat yang menghadiri perayaan misa semakin
meningkat, dan gereja terasa semakin sempit. Jumlah perayaan Ekaristi pada
setiap hari Minggu digelar sebanyak 4 kali. Kesadaran umat dalam hidup
menggereja menandakan buah sesawi yang sudah tumbuh menjadi pohon yang besar.
Menurut pencacatan buku babtis Paroki Katedral jumlah babtisan sudah mencapai
31.078 sampai dengan bulan November 2009.
Tidak bisa dipungkiri,
bangunan gereja yang sudah berumur lebih dari 100 tahun ini sudah tidak lagi
cukup untuk menampung jumlah umat Katolik yang semakin bertambah di Pontianak.
Hal ini terlihat jelas pada setiap misa hari Minggu yang walaupun sudah
dilakukan sebanyak 4 kali, sejumlah umat yang hadir tidak tertampung lagi dan
harus rela berdiri untuk dapat mengikuti misa. Menanggapi kondisi tersebut maka
diputuskan kembali pada tahun 2010 untuk membangun gereja ini lagi agar dapat menampung
lebih banyak umat dari waktu ke waktu. Rencana ini bukan sekedar pemugaran saja,
pihak gereja mengusulkan mengganti Gereja Katedral dengan bangunan baru, dengan
pertimbangan bahwa gereja ini telah dipugar sebanyak 3 kali sejak berdiri tetapi
tidak membuahkan hasil yang berarti. Dinding kayu yang sudah tua dan lapuk
merupakan salah satu pertimbangan untuk dilakukan pembangunan ulang. Akhirnya
pada tahun 2011, bangunan gereja mulai dirobohkan. Proyek pembangunan gereja
baru ini berlangsung selama 4 tahun. Tepat pada Hari Raya Santo Yosef, 19 Maret
2015, Gereja Katedral Keuskupan Agung Pontianak kemudian diberkati oleh Mgr
Antonio Guido Filipazzi, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia. Gereja besar ini
mampu menampung umat sebanyak 3000 orang untuk sekali misa. Model gereja
mengacu arsitektur klasik "Corinten" yang terlihat dari kubah bulat
sebagai kubah utama dan diatasnya ada kubah kecil lagi yang disebut
"Rotunda". Konstuksi kubah utama menggunakan space frame atau rangka
ruang. Bangunan yang mengambil gaya gothic
dan berpatokan pada patron zaman Bizantium
pada abad ke-4 diharapkan dapat mewakili kemegahan Basilika Santo Petrus yang
ada di Kota Vatikan dan dapat menjadi kebanggaan umat dan masyarakat yang ada
di Kota Pontianak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar