menu

Senin, 20 Juni 2016

Katedral Santo Yoseph: Perjalanan Panjang Simbol Iman Umat Katolik Di Kalimantan Barat

Bila kita datang ke Kota Pontianak tidaklah lengkap rasanya apabila tidak berkunjung ke salah satu bangunan megah yang terletak tidak jauh dari pusat perekonomian di Kota Pontianak. Bangunan dengan gaya arsitektur benua eropa pada abad pertengahan tentu akan menarik perhatian bagi siapa saja yang melihatnya. Gereja Katedral Santo Yoseph Pontianak begitu masyarakat Pontianak menamainya. Tidak hanya populer dikalangan umat Katolik saja, bangunan ini sangat tidak asing dikalangan umat beragama lain yang ada di Kota Pontianak. Nilai sejarahnya yang mengikutinya seakan-akan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam ingatan setiap orang yang pernah mengunjungi dan bahkan tinggal di Kota Pontianak.


Masa Awal Karya Misionaris Kalimantan
Awal sejarah misi Katolik di Kalimantan Barat terekam dalam laporan laporan para misionaris Ordo Jesuit, ketika mereka melakukan perjalanan hingga ke daerah pedalam Kalimantan Barat. Laporan tersebut tersurat dalam laporan perjalanan Pastor Sanders ditahun 1851-1852 (Vriens S.J: 1972;223). Dalam laporannya Pastor Sander mengatakan bahwa belum saatnya membuka karya misi di Kalimantan Barat pada penjajakan awalnya di bumi khatulistiwa.
Laporan selanjutnya kemudia diperoleh dari Pater van der Grinten pada tahun 1862. Ketika itu ia melakukan perjalanan berkeliling mengunjungi orang-orang dayak yang bermukim di daerah pedalaman. Dalam perjalan tersebut beliau menyelidiki kemungkinan-kemungkinan upaya misi masuk ke Kalimantan Barat. Dalam laporannya tersebut beliau sangat optimis bahwa Kalimantan Barat dapat dijadikan daerah misi baru. Namun sangat disayangkan tidak ada tindak lanjut dari laporannya tersebut. Hal ini terjadi karena jumlah tenaga imam yang ada masih sangat sedikit serta situasi Kalimantan Barat kala itu kurang kondusif. Dari segi politik banyaknya pertentangan pertentangan antara pemerintah Belanda dengan kongsi-kongsi (kongsi: komunitas masyarakat tionghoa yang datang dari tiongkok) yang menetap di Kalimantan Barat. Selain itu, ketidakselarasan antara penguasa lokal (kesultanan) dengan kongsi-kongsi masyarakat tionghoa seringkali berujung pada peperangan hingga menimbulkan korban jiwa. Hal inilah yang menyebabkan terhambatnya perkembangan misi di Kalimantan  Barat.

Walaupun perkembangan yg terjadi begitu lambat, tapi dengan pelan namun pasti dari tahun ke tahun jumlah umat yang terpanggil semakin banyak. Akhirnya pada tahun 1885, Singkawang ditetapkan sebagai stasi dengan cakupan wilayah Kalimantan Barat dan pulau Belitung dan Pater W.J. Staal, SJ ditunjuk sebagai pastor paroki pertamanya. Saat itu Pater Staal melayani kurang lebih 200 umat Katolik Tionghoa yang berasal dari pulau Bangka. Ditahun-tahun berikutnya jumlah umat semakin meningkat karena pelayanan misionaris jesuit ini kemudian merangkul juga orang orang dayak yang ada di pedalaman, bahkan sampai di daerah sejiram (sekarang Kab.Kapuas Hulu). Lagi-lagi persoalan keterbatasan imam menjadi permasalahan dalam pengembalaan umat yang sudah mulai menunjukan peningkatan.
Berbeda dengan misi di kalimantan barat, misi di pulau Jawa dan Flores berkembang dengan sangat baik kala itu. Pertumbuhan yang sangat baik ini tentunya membutuhkan semakin banyak tenaga imam. Maka dengan kondisi jumlah imam yang terbatas ini,  imam-imam yang ada di kalimantan barat ditarik dan di kirim ke Flores. Ini terjadi pada tahun 1897. Maka dengan berat hati, semua imam yang menjalankan misi di Kalimantan Barat pun pindah. Umat yang telah ada sangat kehilangan sahabat, guru, dan imam mereka.

Mengalami kekosongan dalam misi pewartaan di Kalimantan Barat Vikaris Apostolik Jakarta berupaya mencari solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Para pimpinan ordo jesuit berusaha mencari ordo-ordo lain yang bersedia menggantikan misi mereka telah rintis susah payah di Kalimantan Barat. Akhirnya pada tahun 1905 tepatnya pada tanggal 18 Februari Prefektur Apostolik Borneo didirikan, yang kemudian dipercayakan kepada ordo kapusin. Para biarawan dari ordo kapusin Belanda mendapat tugas untuk segera mengisi kekosongan karya misi di Kalimantan Barat.  Dua bulan setelahnya, tepatnya pada tanggal 10 April 1905 ditunjuk Pastor Pacificus Bos, OFMCap sebagai Prefek Apostolik Borneo oleh Bapa Suci Paus Pius X.

Pada tanggal 30 November 1905 Pastor Pacificus Bos, OFMCap bersama dengan misionaris lainnya yg berjumlah 4 orang tiba di Singkawang. Mereka disambut dengan penuh kegembiraan dan suka cita hingga larut malam saat kedatangan. Benih-benih iman yang telah ditanamkan oleh misionaris Jesuit masih hidup dikalangan umat. Hal inilah yang membuat karya pelayanan misionaris ini diterima dengan sangat antusias dan penuh suka cita oleh umat. Banyak kisah-kisah menarik yang mewarnai kisah-kisah perjalanan awal karya mereka sebagai misionaris di Singkawang.

Karya Misionaris Di Pontianak
Dalam perkembangannya Prefek Apostolik Borneo Pastor Pacificus Bos menilai bahwa Pontianak akan menjadi daerah baru untuk karya misi. Pada akhir tahun 1906, Pastor Beatus di tugaskan ke Pontianak untuk melihat kemungkinan-kemungkinan dibukanya  karya misi di tengah-tengah masyarakat Tionghoa. Dari laporannya selama sebulan berada di Pontianak, terlihat umat Katolik sudah ada tetapi jumlahnya sangat sedikit hanya berkisar 20 orang saja. Akan tetapi umat Katolik yang ada tidak menunjukkan minat yang cukup serius untuk mempelajari agama Katolik. Alasannya adalah karena mereka lebih berkonsentrasi pada bisnis yg bersifat rutin sehingga mengabaikan pembinaan rohani.

Kemudian pada visitasi yang kedua bulan Februari 1908 Pastor Pasifikus Bos melihat adanya perkembangan yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi umat yang terlihat sebelumnya,  sekembalinya ia dari Sejiram. Hal ini dikarenakan sebelum keberangkatannya ke daerah Sejiram, ia menunjuk seorang katekis untuk melayani umat yang ada di Pontianak. Pastor Pacificus akhirnya memutuskan bahwa Pontianak harus menjadi bagian karya misi mereka. Mengingat letaknya yang sangat strategis serta dapat dijadikan tempat transit bagi para misionaris yang hendak melakukan perjalanan ke pedalaman maupun sebaliknya. Keinginannya tersebut terwujud pada bulan Juli 1908. Untuk melakukan karya pastoral di lingkungan stasi Pontianak, Prefek akhirnya menugaskan Pastor Remigius. Pada saat itu bentuk gereja sebagai sebuah bangunan belum ada. Sebagai tempat tinggal, Prefek menyewa sebuah ruko di daerah pasar yang sekaligus digunakan sebagai tempat untuk pembinaan iman umat. Sebagai alternatif untuk melaksanakan misa umat di stasi Pontianak digunakanlah bangunan milik pemerintah Belanda, yaitu gedung peradilan.

Periode awal karya pastoral di Pontianak perkembangan iman umat cukup menggembirakan hati Pastor Pacificus. Hal ini dikarenakan pastor serta katekis yg ditunjuk, menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Melihat kondisi yang sudah lebih baik serta pertambahan jumlah umat yang meningkat akhirnya Pastor Pacificus Bos memikirkan untuk rencana pembangunan sebuah Gereja. Keinginannya tersebut disambut baik oleh pimpinan provinsial yang berada di Belanda. Maka dibelilah beberapa bidang tanah serta mulai dibangunlah sebuah gereja untuk memperkuat misi pastoralnya di Pontianak.

Lokasi pembangunan gereja berada tidak jauh pusat pemerintahan Hindia Belanda dan dan tangsi militer serta pusat perdagangan. Pada akhir bulan desember 1910 bangunan Gereja pun telah selesai didirikan, prefek Pastor Pacificus Bos, Pastor Remigius bersama para Bruder meninggalkan rumah kontrakan dan pindah disamping pastoran.

Gereja Katedral Pontianak
Pada tahun 1910 Gereja Katedral masih berstatus gereja paroki, predikat sebagai gereja misi menjadi label utama yang menyertai perjalanan sejarahnya hingga dekade-dekade berikutnya. Pada awal-awal pembentukan paroki, umat Pontianak didominasi oleh warga Tionghoa yang datang menetap dan bekerja.

Menjelang berakhirnya perang dunia pertama tepatnya pada tanggal 14 Maret 1918, Prefektur Apostolik Borneo yang dijabat oleh Pastor Pacificus Bos, kemudian oleh Tahta Suci Roma diangkat menjadi Vikariat Apostolik. Akhirnya pada 17 November 1918 Pastor Pacificus Bos diangkat menjadi Uskup Pontianak. Dengan pengangkatan tersebut secara otomatis Gereja yang tadinya hanya gereja biasa berubah menjadi Gereja Katedral.

Menelusuri penamaan Gereja Katedral yang kemudian dikenal dengan nama Gereja Katedral santo Yoseph Pontianak, tidak dijumpai catatan yg menyebutkan kapan peristiwa itu terjadi dan alasan mengapa gereja tersebut dinamakan Gereja Katedral Santo Yoseph Pontianak. Tetapi apabila dilihat dari sejarah awal pendirian stasi Pontianak perkiraan pemberian nama Santo Yoseph dapat ditelusuri.  Dalam usahanya memindahkan pusat misi ke Pontianak prefek Pacificus Bos, memohon dan menyerahkan segala perencanaan tersebut lewat bantuan campur tangan Santo Yoseph sebagai pelindungnya. Hal inilah yang kemudian diperkirakan sebagai asal nama dari Gereja Katedral Santo Yoseph Pontianak.

Perjalanan misi Gereja tidak berjalan dengan mudah di Pontianak. Hal ini dikarenakan ikut berdampaknya situasi kehidupan Gereja akibat terjadinya perang dunia 1 dan perang dunia 2. Kondisi terparah yang dialami gereja pada saat itu adalah pada saat pendudukan tentara Jepang di Indonesia termasuk di Kalimantan Barat pada tahun 1941. Banyak arsip2 penting Gereja yang gagal diselamatkan karena kedatangan tentara Jepang yang tidak diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya. Hal ini berdampak pada kehidupan menggereja, baik itu dilingkungan para pemimpin umat serta para umat Katolik pada masa itu. Para imam, bruder dan suster yang berkebangsaan Belanda ditahan dan diasingkan di kamp tahanan, yang membuat aktivitas Gereja sempat terhenti untuk beberapa saat. Hanya pastor-pastor yang berkebangsaan Indonesia saja yang tidak ditahan. Walaupun ada beberapa pastor yang tidak ditahan tetap saja aktivitas gereja tetap tidak dapat dilaksanakan karena gereja, sekolah dan gedung-gedung milik gereja dijadikan tempat aktivitas tentara Jepang. Kondisi ini berjalan kurang lebih selama 4 tahun. 

Setelah Jepang menyerah, baru kemudian aktivitas gereja menjadi pulih kembali dan gedung-gedung yang sebelumnya digunakan tentara Jepang dikembalikan kepada gereja. Para misionaris yang ditahan di kamp penjara dibebaskan dan baru kembali ke Pontianak pada awal bulan Desember 1945. Pada waktu itu Mgr. Tarcisius van Valenberg kembali ke Gereja Katedral dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Dimana berkas-berkas gereja sudah banyak yang hilang serta rusak akibat pendudukan Jepang selama kurang lebih 4 tahun lamanya. Babak baru misi gereja dimulai kembali ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Kondisi yang semula sudah tertata dengan baik harus dimulai lagi dari awal. Walaupun demikian semangat hidup menggereja tidak pernah surut. Dengan perlahan dan pasti kondisi tersebut dapat teratasi.

Pada tahun 1950-an gereja Katedral Pontianak kembali mencatat pergantian jabatan Vikaris Apostolik pada 13 Juli 1957 Pastor Herculanus diangkat menjadi Vikaris Apostolik. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1957 Pastor Herculanus ditahbiskan menjadi Uskup yang baru. Pada tahun 1959, gereja yang dibangun sejak 1909 terasa tidak dapat menampung umat yang semakin bertambah. Untuk menampung umat yang semakin bertambah tersebut maka Gereja Katedral dirancang untuk perluasan yang pelaksanaannya dimulai dari tahun 1959 hingga Desember 1963. Data mencatat berdasarkan buku babtisan sepanjang 1945 hingga 1960 umat Katolik di Pontianak pada saat itu telah berjumlah 2297 orang.

Masa Baru
Memasuki tahun 1960, gereja Katedral Pontianak kembali menjadi saksi beberapa peristiwa penting. Salah satunya adalah pengakuan dan kepercayaan yang diberikan oleh Tahta Suci kepada karya rohaniwan dan awam yg sudah dewasa di Indonesia dengan membentuk hirarki gereja di Indonesia. Kemudian pada tahun 1967 tepatnya pada bulan Juli, Katedral Pontianak menjadi saksi bagi pentahbisan putra dayak kedua Fr. Hieronimus Bumbun sebagai pastor. Kemudian sembilan tahun selanjutnya Gereja Katedral menjadi saksi atas Pastor Hieronymus Bumbun, OFMCap yang ditahbiskan sebagai Uskup Agung Keuskupan Agung Pontianak.

Di era tahun 1980, umat Gereja Katedral Santo Yoseph Pontianak semakin bertumbuh, baik secara kuantitas maupun kualitas. Dari waktu ke waktu umat yang menghadiri perayaan misa semakin meningkat, dan gereja terasa semakin sempit. Jumlah perayaan Ekaristi pada setiap hari Minggu digelar sebanyak 4 kali. Kesadaran umat dalam hidup menggereja menandakan buah sesawi yang sudah tumbuh menjadi pohon yang besar. Menurut pencacatan buku babtis Paroki Katedral jumlah babtisan sudah mencapai 31.078 sampai dengan bulan November 2009.
Tidak bisa dipungkiri, bangunan gereja yang sudah berumur lebih dari 100 tahun ini sudah tidak lagi cukup untuk menampung jumlah umat Katolik yang semakin bertambah di Pontianak. Hal ini terlihat jelas pada setiap misa hari Minggu yang walaupun sudah dilakukan sebanyak 4 kali, sejumlah umat yang hadir tidak tertampung lagi dan harus rela berdiri untuk dapat mengikuti misa. Menanggapi kondisi tersebut maka diputuskan kembali pada tahun 2010 untuk membangun gereja ini lagi agar dapat menampung lebih banyak umat dari waktu ke waktu. Rencana ini bukan sekedar pemugaran saja, pihak gereja mengusulkan mengganti Gereja Katedral dengan bangunan baru, dengan pertimbangan bahwa gereja ini telah dipugar sebanyak 3 kali sejak berdiri tetapi tidak membuahkan hasil yang berarti. Dinding kayu yang sudah tua dan lapuk merupakan salah satu pertimbangan untuk dilakukan pembangunan ulang. Akhirnya pada tahun 2011, bangunan gereja mulai dirobohkan. Proyek pembangunan gereja baru ini berlangsung selama 4 tahun. Tepat pada Hari Raya Santo Yosef, 19 Maret 2015, Gereja Katedral Keuskupan Agung Pontianak kemudian diberkati oleh Mgr Antonio Guido Filipazzi, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia. Gereja besar ini mampu menampung umat sebanyak 3000 orang untuk sekali misa. Model gereja mengacu arsitektur klasik "Corinten" yang terlihat dari kubah bulat sebagai kubah utama dan diatasnya ada kubah kecil lagi yang disebut "Rotunda". Konstuksi kubah utama menggunakan space frame atau rangka ruang. Bangunan yang mengambil gaya gothic dan berpatokan pada patron zaman Bizantium pada abad ke-4 diharapkan dapat mewakili kemegahan Basilika Santo Petrus yang ada di Kota Vatikan dan dapat menjadi kebanggaan umat dan masyarakat yang ada di Kota Pontianak.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar