menu

Minggu, 19 Juni 2016

INKARNASI: ALLAH PUTERA MENJADI MANUSIA

Iman kristiani percaya bahwa Allah Putera, yaitu pribadi kedua dalam Allah Tritunggal Maha Kudus, menjadi manusia. Di dalam Syahadat dikatakan “Dan Ia menjadi manusia demi keselamatan kita.” Banyak orang melihat pernyataan iman ini tidak masuk akal atau terlalu mengada-ada (baca: dongeng/legenda/mitos). Mengapa tidak masuk akal?


Jawaban banyak pihak adalah demikian: Allah tidak mungkin (mau) menjadi manusia karena dengan demikian merendahkan Diri-Nya. Bagaimana mungkin Sang Khalik Pencipta mau menjadi satu level dengan ciptaan-Nya sendiri? Bukankah itu merendahkan si Pencipta? Di antara Pencipta (baca: Tuhan) dan ciptaan terbentang jarak yang tidak terseberangi. Bagaimana mungkin iman Kristiani dengan lancang mengatakan bahwa Allah (pernah) menjadi manusia? Memang tidak gampang menjawab “mengapa” Allah mau menjadi manusia kalau dilihat keberatan yang disebutkan di atas. Namun iman Kristiani sejak abad IV dengan tegas di dalam ajaran imannya yang sah (baca: dogma) mengatakan Yesus itu benar-benar pribadi kedua di dalam Allah Tritunggal yang menjelma menjadi manusia.

Yesus itu di dalam dirinya bersatu dua (2) kodrat di dalam satu pribadi, yaitu kodrat ke-Allah-an dan kemanusiaan. Pada saat tertentu di dalam sejarah Allah Putera menjelma menjadi manusia di dalam pribadi Yesus. Tujuannya dikatakan juga dengan jelas “demi keselamatan kita.” Pertanyaan kini ada dua (2) di benak semua orang yang mencoba mengerti iman akan penjelmaan Allah Putera (inkarnasi). Pertama, mengapa Allah berkenan menjadi manusia? Kedua, apakah hubungan antara keselamatan manusia dengan inkarnasi Allah Putera? Untuk menjawab kedua pertanyaan ini hendaklah segera dibuat sebuah catatan kritis.

Manusia tidak akan bisa mengerti tindakan Allah. Kalau manusia bisa mengerti tindakan Allah sepenuhnya maka manusia sudah menjadi Allah. Dalam iman akan inkarnasi manusia tidak bisa mengerti sedalam-dalamnya mengapa Allah berkenan menjadi manusia. Iman hanya bisa mengatakan dua (2) hal, yaitu fakta Allah menjadi manusia di dalam diri Yesus dan Yesus sendiri mengatakannya (atau tepatnya: mewahyukannya) melalui baik Sabda dan tindakan-Nya yang merujuk pada iman tersebut. Berdasarkan hidup Tuhan Yesus sendirilah kita mendapatkan jawabannya yang kiranya membantu kita “mengerti” kedua pertanyaan kita di atas. Di dalam Yoh 3: 16 dikatakan alasan utama penjelmaan Allah Putera adalah kasih Allah sendiri yang mau menyelamatkan.

Di sini boleh dikatakan cinta kasih adalah alasan utama “mengapa” Allah berkenan menjadi manusia. Dari pihak logika manusia hal itu tidak mungkin dan sepertinya tidak mungkin akan terjadi: “Bagaimana mungkin Pencipta mau bersedia menjadikan diri-Nya selevel dengan ciptaan-Nya? Bukankah itu menjatuhkan martabat dan kodrat kemuliaan-Nya?” Tetapi dari pihak Allah jawabannya sederhana: karena cinta Ia bersedia. Sto. Paulus bahkan mengatakan di dalam Ef 2: 5-11 bahwa Yesus yang setara dengan Allah bersedia mengosongkan diri-Nya (kenosis) dengan merendahkan diri sampai ke taraf sebagai hamba (baca: manusia).

Bukan hanya mengosongkan diri, Paulus bahkan mengatakan Ia bersedia mati sebagai manusia dan disalib. Pernyataan Sto. Paulus ini sangat jelas dan tegas: Allah bukan hanya menjadi manusia bahkan bersedia mati di dalam keadaan yang memalukan. “Disalibkan” pada jaman itu berarti dua: (a) terhukum mati sebagai penjahat dan (b) orang yang disalib itu dikategorikan sebagai kriminal besar (mis. Pembunuh sadis, pemberontak [makar], penghujat).

Alasannya sekali lagi Allah Putera bersedia mengalami nasib yang tragis dan bahkan “memalukan” dari kacamata manusia adalah demi cinta-Nya kepada manusia. Memang bagi manusia pernyataan (iman) ini tidak masuk akal. Namun bagi Allah yang mencintai hal ini masuk akal sekali. Bukankah seorang ayah (atau ibu) yang mencintai anak-anaknya rela mengorbankan bahkan nyawanya sendiri agar anaknya hidup? Karena cinta hal yang tidak masuk akal bisa terjadi.

Bagi yang mencintai adalah tindakan yang dilihat banyak orang tidak masuk di akal adalah wujud nyata cintanya; meski dilihat orang lain tidak masuk akal sama sekali. Jika manusia saja bisa; apalagi Tuhan yang merupakan asal segala cinta dan bahkan Ia adalah kasih (bdk. 1 Yoh 4: 8b). Tidak mengherankan di dalam Kid 8: 6b-7 mengatakan cinta itu kuat bagaikan maut dan nyalanya seperti nyala api Tuhan! Tidak ada yang dapat menghalangi cinta dan orang yang mencintai. Maka apakah tidak mungkin Allah yang adalah Sang Cinta sendiri demi cinta-Nya kepada manusia rela menjadi manusia dan bahkan mati disalib? Iman mengatakan Allah yang di dalam kasih-Nya berkenan menjadi manusia berbuat demikian dengan tujuan keselamatan manusia.

Apakah maksudnya pernyatan iman ini? Iman kristiani percaya bahwa manusia yang diciptakan mulia oleh Allah pada suatu saat mengambil keputusan “mau menjadi Allah dan menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa Allah” (Kej 3: 4-5). Inilah yang diyakini sebagai dosa asal. Akibat dosa asal adalah manusia memilih kegelapan daripada terang (bdk. Yoh 3: 19-21) dan akibatnya adalah kematian kekal yang tidak lain adalah terputus dari Allah. Sejak saat itu entah kenapa manusia mengalami dirinya sifat yang selalu membangkang (baca: tidak taat) meski di dalam nuraninya manusia selalu ingin berbuat baik (Rom 7: 15). Sto. Paulus mengatakan sifat tidak taat (membangkang) ini adalah akibat dosa turunan dari Adam si manusia pertama.

Adam mendatangkan kepada turunannya bukan hanya sebuah dosa yang ada pada manusia karena mereka manusia (baca: dosa asal) melainkan juga pembangkangan. Akibatnya manusia manusia selalu akan berdosa di hadapan Allah dan celaka (bahasa Konsili Trente adalah “menjadi musuh Allah”). Dengan menjadi manusia seperti kita, Yesus mengembalikan di dalam diri-Nya sifat lain yang berlawanan dengan Adam. Yesus mewariskan kepada kita turunan manusia sifat taat dan setia. Maka Adam Baru (yaitu Yesus) mulai kini mewariskan sejarah baru yaitu sejarah ketaatan dengan akibat tentunya keselamatan.

Apa yang tidak bisa dilakukan manusia Adam sehingga menyebabkan semua manusia celaka; kini di dalam Yesus sejarah baru terjadi yaitu manusia bisa taat. Di sinilah keselamatan terjadi yaitu melalui ketaatan yang gagal oleh Adam digantikan oleh ketaatan Yesus yang juga keturunan Adam. Singkatnya: Allah menjadi manusia dikarenakan Adam yang dengan ketidaktaatannya membuat bangsa manusia hancur perlu ditebus oleh keturunan Adam sendiri yang bisa taat sehingga membawa manusia kembali selamat.

Manusia itu sendiri tidak lain adalah Yesus; yang notabene juga Allah. Saking tidak bisanya manusia menyelamatkan dirinya sendiri dengan ketaatan sehingga akan selalu celaka membuat Allah berkenan menjadi manusia sehingga manusia baru yang lahir dari keturunan Adam (yaitu Yesus Tuhan), yang juga ilahi di dalam diri-Nya (sehingga mampu taat), meluruskan sejarah celaka menjadi sejarah keselamatan.

Iman akan inkarnasi Allah Putera ini kini nyata bukan legenda atau omong kosong. Iman ini justru mengatakan betapa baiknya Tuhan di dalam kasih-Nya ingin menyelamatkan manusia dengan rela merendahkan levelnya supaya manusia bisa selamat berkat ketaatan satu manusia sehingga sejarah kecelakaan menjadi sejarah keselamatan. Inilah yang diperingati umat Kristiani setiap tanggal 25 Desember sebagai Hari Natal, yaitu hari di mana Allah menjelma menjadi manusia demi keselamatan kita. Selamat merayakan hari penyelamatan kita!
 (Johanes Robini Marianto, O.P.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar